Jumat, 26 September 2008

Kecelakaan Pesawat Terbang

Seiring dengan maraknya pemberitaan tentang kecelakaan pesawat terbang yang dialami oleh salah satu maskapai penerbangan swasta di Indonesia, maka gw berusaha mencari beberapa informasi tentang pemicu kecelakaan yang dapat terjadi pada pesawat terbang. Kecelakaan-kecelakaan tersebut dapat dilihat pada uraian dibawah ini.


Meledak di udara

Pesawat terbang meledak di udara tidak selalu karena ada bom. Yang terjadi dengan Boeing 747 Air India di atas Samudera Atlantik pada 1985 dan Boeing 747 PanAm di Lockerbie pada 1988 memang terbukti karena ledakan bom. Namun, yang terjadi pada Boeing 747-100 TWA flight 800, 17 Juli 1996, yang meledak di udara beberapa menit setelah take off dari JFK Airport, New York – Amerika Serikat, bukan karena bom. Penyebabnya adalah tangki bahan bakar meledak, diduga karena ada percikan api dari electrical wire.


Terbelah di udara

Beberapa kejadian pesawat terbang terbelah di udara sering kali karena terjadinya korosi dan kelelahan logam, yang disertai dengan perawatan dan perbaikan adanya retakan yang tidak tepat (improper). Pada 25 Mei 2002, Boeing 747-200 Chine Airlines jatuh dari ketinggian 35.000 kaki akibat bagian ekornya (tail section) terlebas. Penyebabnya diduga kelelahan logam karena adanya perbaikan retakan pada tail section – akibat pernah terjadi tail strike tahun 1980 di Hongkong – yang tidak sesuai dengan maintenance manual. Kejadian serupa terjadi pada Boeing 747 Japan Airlines pada 12 Agustus 1985 di dekat Gunung Fuji, Jepang.

Semua mesin mati

Pesawat terbang dengan dua mesin, dirancang untuk tetap mampu terbang meskipun salah satu mesinnya mati. Apabila kedua mesin mati, tergantung dari ketinggian dan jenis pesawatnya, pesawat masih akan mampu terbang melayang (gliding) dengan terkendali sampai jarak tertentu. Namun, ceritanya akan lain kalau sistem hidroliknya ikut terganggu, sehingga sistem kendali terbangnya terganggu.

Hal itulah yang kemungkinan terjadi pada MD-82 West Carribean Airways yang jatuh di Venezuela, 16 Agustus 2005 lalu karena kedua mesinnya mati yang diduga karena bahan bakarnya terkontaminasi. Kejadian terkontaminasinya bahan bakar mengingatkan kejadian avtur yang diduga tercampur air yang terjadi pada pesawat Boeing 737-200 milik Batavia Air pada 19 Oktober 2005 lalu.


Mesin jatuh di udara

Pada 25 Mei 1979, sesaat setelah take off dari Chicago O’Hare Airport, salah satu mesin DC-10 American Airlines yang terletak di sayap lepas, mengakibatkan kerusakan di sayap. Pesawat kehilangan kendali, berputar 90o dan pecah berantakan di udara. Badan Keselamatan Transportasi Nasional (National Tranportation Safety Board, NTSB) dalam laporannya menyalahkan rancangan engine pylon dan prosedur perawatan pesawat.


Malfungsi sistem pesawat

Pada 14 Agustus 2005, Boeing 737-300 Helios Airways jatuh setelah kehabisan bahan bakar di Yunani. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan tekanan udara pada pesawat yang juga membuat kedua pilotnya pingsan. Sebelum jatuh, pesawat terbang dengan auto pilot sampai bahan bahan bakarnya habis. Hasil investigasi menunjukkan bahwa pilot tidak menyadari bahwa pressurization switch diset pada posisi manual sebelum take off bukannya automatic yang akan mengatur tekanan udara dalam kabin secara otomatis sesuai dengan ketinggian pesawat.

Pada 2 September 1998, MD-11 Swissair terbakar di udara dan jatuh di perairan Nova Scotia, Kanada. Penyebab awal api diduga dari Air Conditioning System. Api tersebut kemudian merambat dan membuat kegagalan (failure) pada beberapa sistem lainnya.

Pada 26 Mei 1991, Boeing 767-300 ER Lauda Air jatuh di atas Thailand. Penyebabnya terjadi malfungsi pada thrust reverser (pembalik tenaga mesin) yang bekerja di ketinggian (seharusnya hanya berfungsi pada waktu landing). Pesawat stall (kehilangan gaya angkat) dan disintegrate (pecah) pada ketinggian 4000 kaki (1200m).


Tabrakan di udara

Tabrakan di udara (mid air collision) antara dua pesawat terbang sudah beberapa kali terjadi. Penyebabnya antara lain karena pesawat yang tidak dilengkapi sistem peringatan pencegah tabrakan atau traffic alert and collision avoidance system (TCAS), tidak mematuhi perintah petugas pengendali lalu-lintas udara (ATC), atau bahkan kesalahan petugas ATC itu sendiri.

Boeing 737-700 Gol Transportes Aereos bertabrakan dengan Embraer Legacy 600 ExcelAire pada ketinggian 37000 kaki di atas Amazon, Brazil, 29 September 2006. Boeing 737-600 berhasil selamat dengan melakukan pendaratan darurat. Investigasi masih dilakukan, namun diduga, pilot Legacy 600 diduga inoperative. Namun, ada dugaan lain, justru ATC yang meminta Legacy 600 terbang pada ketinggian yang sama dengan Boeing 737.


Sengaja “dijatuhkan”

Setidaknya ada dua kecelakaan pesawat terbang dalam 10 tahun terakhir yang diduga disebabkan karena pilotnya bunuh diri, dengan sengaja menjatuhkan pesawatnya. Pada Desember 1997, Boeing 737 Silk Air jatuh di daerah Palembnang, Sumatera Selatan. Dalam suratnya kepada ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang saat itu dijabat oleh Prof. Oetarjo Diran, ketua NTSB Jim Hall mengatakan bahwa temuan yang ada tidak mengindikasikan adanya kesalahan mekanis pada Boeing 737 tersebut dan kecelakaan tersebut nampaknya memang disengaja oleh (kapten) pilotnya. Namun, Diran menolak konklusi tersebut karena dari hasil investigasi KNKT tidak cukup bukti untuk mendukung konklusi tersebut.

Kecelakaan yang menimpa Boeing 767 EgyptAir pada 31 Oktober 1999 yang jatuh di Samudera Atlantik setelah take off dari JFK Airport juga diduga karena co-pilotnya melakukan bunuh diri oleh NTSB. Kesimpulan ini juga ditolah oleh pihak EgyptAir dan keluarga co-pilot tersebut yang mengatakan kecelakaan tersebut karena bom, peluru kendali, atau kegagalan mekanis.


Akibat “jetstream” atau turbulensi

Dalam sejarah penerbangan modern sejak dioperasikannya jet pada tahun 1950-an tidak pernah tercatat ada kecelakaan fatal (fatal-accident) pesawat terbang komersil akibat jetstream (tiupan angin kencang) atau turbulensi pada ketinggian jelajah di atas 30.000 kaki. Turbulensi, bagaimanapun ekstremnya tidak pernah “menjatuhkan” pesawat terbang. Sejak tahun 1981 sampai Desember 1997 tercatat 342 kejadian turbulensi yang dikategorikan sebagai non-fatal accident yang mengakibatkan tiga orang meninggal, 80 orang menderita luka serius, dan 769 orang menderita luka ringan.

Menurut laporan, Boeing 737-400 Adam Air terkena jetstream dari arah kiri (crosswind) dengan kecepatan sekitar 74 knots (setara 137 km/jam). Mungkinkah crosswind ini mampu mencelakakan pesawat terbang ? Jetstream sebesar 74 knots sebenarnya masih relatif kecil dibandingkan dengan kecepatan jelajah Boeing 737-400 yang sekira 439 knots (813 km/jam). Normalnya, untuk mempertahankan arah terbang (track heading), pilot akan sedikit memiringkan pesawat dan hidung pesata juga miring ke arah datangnya angin (steady heading sideslip technique).

Rabu, 24 September 2008

KLASIFIKASI PESAWAT TERBANG

1. Pesawat Militer

  • Pesawat Pemburu
  • Pesawat Pembom
  • Pesawat Transport
  • Pesawat Latih
  • Pesawat Intai
  • Pesawat serbaguna
2. Pesawat Sipil
  • Pesawat Angkut (Penumpang/barang)
  • Pesawat Sport
  • Pesawat Turis
  • Pswt Khusus (pertanian, perhutanan, perdagangan)
BERDASARKAN TENAGA PENGGERAK :
  1. 1. Dg motor propeller (baik piston maupun turbin)
  2. 2. Dg motor pancar gas (turbin dan roket)
BERDASARKAN JARAK TINGGAL LANDAS :
  1. 1. Normal
  2. 2. Pendek (STOL)
  3. 3. Vertikal (VTOL)
BAGIAN DARI PESAWAT
  1. 1. Sayap
  2. 2. Badan (Fuselage)
  3. 3. Ekor (Empenage)
  4. 4. Kemudi (Control)
  5. 5. Alat pendarat (Under Carriage)
1. SAYAP, untuk membentuk gaya angkat
2. BADAN, menghubungkan bagian utama kerangka menjadi satu kesatuan.
3. EKOR, menstabilkan dalam arah longitudinal & directional.
4. KEMUDI, untuk pengendalian ;
  • a. Bidang kemudi (control surface)
  • b. Lateral (aileron)
  • c. vertical (elevator)
  • d. Directional (rudder)
5. ALAT PENDARAT : untuk melakukan pendaratan di darat atau air.
TENAGA PENGGERAK
YANG TERMASUK DALAM TENAGA PENGGERAK :
  1. 1. Motor (engine)
  2. 2. Propeller
  3. 3. Engine mount
  4. 4. Nacelle
  5. 5. Instalasi Bahan Bakar & pelumas termasuk Tanknya.
  6. 6. Sistem pendingin dan kontrol utk motor beserta propeller dan perlengkapan lainnya.
PESAWAT TERBANG
LEBIH BERAT DARI UDARA
LEBIH RINGAN DR UDARA
TAK BERMOTOR
BERMOTOR
DGN SAYAP
TANPA SAYAP
BERMOTOR
TAK BERMOTOR
BERMOTOR
TAK BERMOTOR
SAYAP BERPUTAR
SAYAP TETAP
SAYAP TETAP
SAYAP BERPUTAR
KOMBINASI
(BALON) (KPL UDARA)
(SATELIT) (ROKET)
FIXED WING
HELICOPTER
BENTUK SAYAP
  • Persegi panjang
  • Jajaran genjang
  • Persegi panjang & jajaran genjang
  • Ellip
  • Jajaran genjang miring
  • Delta
  • Jajaran genjang tipis AR kecil
BERDASARKAN JUMLAH PENUMPANG
  1. 1. Aero-taxi = 3 s/d 10 penumpang
  2. 2. Angkut ringan = 10 s/d 30 penumpang
  3. 3. Angkut sedang = 30 s/d 100 penumpang
  4. 4. Angkut berat = di atas 100 penumpang
BERDASARKAN BEBAN & TEGANGAN PADA FUSELAGE
  1. 1. Beban Aerodinamis
  2. 2. Beban massa
  3. 3. Beban dari engine
  4. 4. Beban dari landing gear
  5. 5. Beban dari presurasing cabin
  6. 6. Beban dari tegangan akibat arodynamis heating atau pengerasan sambungan-sambungan yang tidak sama kuat
  7. 7. Beban-beban lain, misalnya dari recoil force penembakan & dari kursi lontar.
  8. 8. Beban dari penumpang
BERDASARKAN DARI KONSTRUKSI FUSELAGE
  1. 1. Frame work
  2. 2. Framework – semi monocoque
  3. 3. Semi monocoque
  4. 4. Monocoque (single seat)

Selasa, 23 September 2008

3000 Jam untuk Teknisi Pesawat



Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia sangat membutuhkan alat transportasi yang cepat dan efektif untuk menjalin perhubungan. Transportasi laut saat ini sudah mulai ditinggalkan karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk bepergian antar pulau. Karena itu banyak orang mulai melirik maskapai penerbangan karena kecepatannya.


Berbicara mengenai jumlah maskapai penerbangan ditanah air yang makin banyak di satu sisi merupakan hal yang menggembirakan. Karena dengan banyaknya jumlah maskapai yang hadir ditanah air tentunya membuat kebutuhan akan tenaga kerja semakin besar dan lapangan kerja pun tercipta. Untuk memenuhi kebutuhan dibidang penerbangan saat ini banyak perusahaan-perusahaan yang bergerak ke bidang pemeliharaan pesawat terbang.


Di perusahaan seperti ini pesawat dipelihara agar tetap dalam keadaan laik terbang dan hal ini tentunya berkaitan dengan kenyamanan selama di udara. Salah satu perusahaan yang bergerak dibidang pemeliharaan pesawat terbang adalah PT GMF AeroAsia (GMF) yang dulunya merupakan direktorat teknik dari Garuda Indonesia. Menurut Jawahir, Manpower Planning dan Recruitment Manager GMF, pelatihan teknisi ini memiliki peran yang besar dalam memenuhi kebutuhan industri didunia penerbangan. Pria kelahiran Kudus ini menyebutkan bahwa tenaga kerja yang berkualitas dan mampu merawat pesawat terbang sesuai standard penerbangan merupakan salah satu modal penting dalam bisnis perawatan pesawat terbang.


Untuk itulah GMF sangat concern terhadap pelatihan teknisi pesawat ini. “Proses trainingnya sendiri memakan waktu sekitar 3000 jam”, ujar Djatmiko, Manajer Technical Training GMF. Menurutnya lamanya waktu pelatihan ini dilakukan untuk mencapai standar kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan industri penerbangan. Output training 3000 jam adalah menjadi teknisi pemula yang masih membutuhkan supervisi dari expert dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini juga diamini oleh Jawahir, “Kalau training kan sasarannya supaya kompetensinya sesuai dengan kebutuhan industri penerbangan”. Bermodalkan lahan seluas 115 hektar yang berada di kompleks bandara International Soekarno-Hatta, GMF AeroAsia membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur guna menunjang operasionalisasi dan aktivitas bisnis mereka seperti hangar pesawat, gedung serbaguna, ruang pelatihan, gedung perlengkapan, gedung manajemen dan lain-lain. Berbagai fasilitas ini diharapkan dapat menunjang proses training agar berjalan sesuai dengan standar industri penerbangan. Dalam hal resources perawatan pesawat terbang, GMF lebih tertarik merekrut lulusan dari SMK penerbangan. “Core business GMF kan perawatan pesawat terbang sehingga akan lebih effisien dan efektif kalau mengambil lulusan dari SMK Penerbangan”, ujar Jawahir. Selain itu ia juga menilai jika merekrut dari lulusan non SMK Penerbangan terdapat gap kompetensi yang cukup besar karena kurikulum pendidikan non SMK Penerbangan dengan SMK Penerbangan berbeda, imbuhnya lagi. Salah satu tujuan training yang dilakukan GMF yaitu untuk mengembangkan personil atau memperkecil gap yang ada. “Untuk memperkecil gap ini tidak harus diisi dengan training, tetapi bisa juga diisi dengan (OJT) on the job training, assignment, couching dan lain-lain”, tambah Jawahir. Dalam hal pengembangan personil, GMF memiliki tools / manual yang disebut dengan Personal Competency Manual atau disingkat PCM. PCM tsb menggambarkan standar kompetensi perawatan pesawat terbang yang mengacu pada standar otoritas penerbangan, misalnya CASR (Civil Aviation Safety Regulation, otoritas penerbangan Indonesia), EASA (European Aviation Safety Agency, otoritas penerbangan Eropa), FAA (Federal Aviation Administration, otoritas penerbangan Amerika) dan lain-lain. PCM digunakan untuk mengukur standar kompetensi bagi setiap personil yang bekerja di GMF. PCM ini berisi uraian mengenai standard kompetensi bagi setiap pemangku jabatan (job holder). Selain itu terdapat juga uraian-uraian kriteria keberhasilan, kondisi, dan training yang diperlukan agar tiap personil perawatan pesawat terbang bisa menjadi kompeten. Ada tiga unsur kompetensi yang menjadi bagian dari PCM yaitu Skill, Knowledge dan Attitude. Skill adalah ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya adalah penguasaan standard practices, preventive maintenance, inspection, trouble shooting, modification dsb. Sementara itu Knowledge adalah pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya adalah pengetahuan basic aircraft, konsep aircraft maintenance, maintenance manual, regulasi, human factor dsb. Yang terakhir yaitu Attitude adalah perilaku yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya analythical thinking, team work, achievement, integrity dsb. Untuk menjamin kompetensi personil perlu dilakukan proses assessmen . Proses assessment ini dilakukan oleh team assessor yang terdiri dari Expert (SME), Manager dan HR (Human Resources). Sementara itu untuk jabatan tertentu seperti Certifying Staff (Release-Man), perlu dilakukan program training/pelatihan dan assessment yang bersifat periodik sehingga kompetensi nya selalu up to date dan valid. Certifying Staff ini merupakan bagian yang menentukan laik atau tidaknya sebuah pesawat untuk mengudara.


Minggu, 21 September 2008

PERSAINGAN BISNIS LINI PERAWATAN

Keinginan maskapai penerbangan kembali ke core business membuka peluang bagi bengkel perawatan pesawat memperluas pasar dan menambah keuntungan.

Bisnis bengkel pesawat sepertinya bakal seramai bengkel mobil. Dalam hitungan hari pesawat bisa silih berganti keluar masuk hanggar perawatan. Ada yang sekadar ngecek ini-itu, ada yang masuk langsung turun mesin. Kalau sudah begitu, uang pun bakal mengalir deras ke kantong pemilik bengkel.

Banyaknya pesawat keluar masuk jelas akan membuat bengkel perawatan pesawat meraih keuntungan berlipat. Hal serupa sempat terlihat di GMF Aero Asia, anak perusahaan Garuda Indonesia yang bergerak dalam bidang perawatan pesawat.
Setelah pisah dengan induknya tahun silam, sejumlah pesawat tampak silih berganti keluar masuk tiga hanggar GMF.

Beberapa waktu lalu terlihat sejumlah pesawat milik Air Sahara India, Boeing 737 Batavia dan Mandala, serta MD-82 Lion Air keluar dari hanggar. Air Sahara keluar setelah beres menjalani perawatan C-check. Begitu juga 737-300/400 Batavia dan Mandala. Agak berbeda dengan MD-82 Lion Air. Pesawat ini baru saja keluar setelah menjalani pemasangan sistem hiburan terbaru yang dipasarkan GMF AA.

Banyaknya pesawat yang keluar masuk tak ayal membuat GMF AA meraih keuntungan. Enam bulan pertama beroperasi GMF AA bisa meraup untung sekitar Rp15 miliar, setelah pajak. Angka tersebut juga sudah terlampaui pada enam bulan pertama 2003. Hadinoto Soedigdo, CEO GMF AA, berharap saat tutup buku tahun 2003 perusahaannya bisa mengantongi keuntungan bersih melebihi target Rp30 miliar.

Dibanding perusahaan jasa perawatan sejenis di luar negeri, target keuntungan yang dicita-citakan GMF AA masih jauh dari keuntungan sejawatnya. SIA Engineering Company misalnya, ketika tutup buku tahun 2002-2003 berhasil meraih keuntungan sampai 164 juta dollar Singapura (sekitar Rp800 miliar) untuk jasa perawatan kelas MRO (Maintenance Repair Overhaul), seperti halnya yang dimiliki GMF AA.

Hadinoto Soedigdo mengakui, perusahaannya belum full speed untuk meraih pasar dan keuntungan yang lebih besar. Alasannya terutama karena kinerja perusahaan belum berjalan sepenuhnya.
"Sejak beralih status kami masih terus membenahi beberapa bagian dan sistem," kata Hadinoto membela diri.

Hadinoto yang sudah malang melintang di GMF sejak puluhan tahun silam berharap tahun depan sudah bisa berjalan pada kecepatan penuh. Ini katanya demi meraih pasar yang cenderung semakin besar dan penuh persaingan. "Kue atau pasar masa depan akan lebih besar, kami harus bisa bersaing," tandasnya.

Menyangkut persaingan, GMF AA sempat ragu. Akan tetapi pengalaman dan penghargaan yang diterima dari sejumlah pelanggan, termasuk sejumlah sertifikat perawatan antara lain dari Badan Penerbangan AS FAA, Badan Penerbangan Eropa JAA, serta DSKU memperkuat keyakinan mereka.
"Selain memiliki kemampuan, kami bisa berkompetisi karena upah tenaga kerja yang 30 persen lebih murah daripada di negara-negara lain," ungkap Hadinoto.





Berebut pasar

Dengan menjadi badan hukum sendiri, 99 persen milik Garuda dan satu persen milik Aero Wisata, GMF AA bisa leluasa berekspresi dan berekspansi, termasuk kebebasan melakukan kerjasama dengan sejumlah bengkel perawatan pesawat di dalam dan luar negeri.

Menginjak usia kedua, GMF AA telah menjalin kerjasama dengan sejumlah pihak. Bulan Juni lalu, misalnya, GMF AA sudah menandatangani kerjasama perbaikan komponen, antara lain untuk airframe parts dan avionik, dengan KLM.

Sebelumnya, ada joint venture dengan Global Aviation untuk pemasangan inflight entertainment. Dalam hal ini GMF AA mengantongi hak memasarkan teknologi inflight entertainment di wilayah Asia. Lion Air jadi konsumen pertama. Selain itu, tujuh pesawat Air Sahara juga bakal masuk dan dipasangi perlengkapan serupa. Kerja sama lain dijalin dengan SMC AS, di mana GMF juga akan memasarkan dan memasang blitz air system yang dikembangkan pusat perawatan SMC.

Jalinan kerjasama dengan sejumlah pihak memang patut dijalin, mengingat persaingan yang semakin ketat. Di dalam negeri saja, selain GMF AA paling tidak ada sejumlah fasilitas serupa seperti Indo Pelita, Merpati Maintenance Facility, dan JAS yang baru saja menggandeng SIA Engineering Company (SIAEC).

Bersama SIAEC, JAS kabarnya sepakat membentuk JAS Aero-Engineering Services yang bertugas melakukan perawatan ringan di tingkat line maintenance, pasar yang juga dilirik GMF AA. Kerjasama keduanya telah ditandatangani 4 Agustus lalu di Jakarta.

"JAS Aero melayani jasa line maintenance atau perawatan sehari-hari pesawat di bandara," kata Diono. Pelayanan itu, lanjutnya, sudah dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Denpasar. Selanjutnya, JAS Aero akan melebarkan jangkauan ke 10 bandara. Selain pesawat-pesawat Singapore Airlines (SIA), airline yang akan dirawat adalah SilkAir, Royal Brunei, dan EVA Air. Konsumen lain yang akan menyusul adalah Lufthansa, Thai International Airways, dan Emirates.

"Peluang untuk meraih pasar cukup besar, dan untuk jangka panjang kami juga akan mengembangkan ke heavy maintenance," ujar Diono, yang menyebut angka 50 persen pasar line maintenance di domestik dan airline asing sebagai targetnya.

Di bandara-bandara di Indonesia, untuk jasa line maintenance dilayani GMF, MMF, Indo Pelita, dan perusahaan-perusahaan kecil lainnya. Kecuali GMF Aero Asia yang melayani airline asing, bengkel lain umumnya melayani penerbangan domestik. JAS Aero sendiri sudah melayani line maintenance maskapai penerbangan asing, seperti halnya JAS yang bergerak di bidang ground handling.
Selama ini, SIAEC sudah memiliki orang-orang line maintenance di Jakarta dan Denpasar, yang frekuensi penerbangan SIA-nya banyak. Sekarang, menurut Wiliam, dengan joint venture ini akan mendapat peluang yang lebih besar untuk pasar domestik dan kegiatan di bandara-bandara lain. "Kami juga sudah melakukan kerja sama sejenis di negara-negara lain seperti Cina, Hong Kong, dan Taiwan," katanya.










PHK KARYAWAN MEMBANDEL

Setelah batas akhir program pengalihan karyawan ke GMF Aero-Asia (GMF-AA) berakhir, Garuda Indonesia akhirnya memutus hubungan kerja (PHK) 233 karyawan yang tidak bersedia bergabung ke GMF-AA. Keputusan ini diambil dengan alasan jenis pekerjaan perawatan pesawat sudah tidak ada lagi di tubuh Garuda Indonesia. Sebagaimana diketahui, program pengalihan karyawan dari PT Garuda Indonesia ke PT GMF Aero-Asia merupakan tindak lanjut pembentukan PT GMF Aero Asia, sesuai master plan BUMN tahun 2002¬2006. Master plan ini menuntut pengalihan 2.750 teknisi Garuda ke GMF-AA. Namun sampai batas akhir, Kamis 7 Agustus 2003, tercatat 233 orang (8,4 persen) tidak bersedia bergabung ke GMF-AA. Hanya 2.517 orang (91,6 persen) bersedia mengikuti program pengalihan. (

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com