Minggu, 21 September 2008

PERSAINGAN BISNIS LINI PERAWATAN

Keinginan maskapai penerbangan kembali ke core business membuka peluang bagi bengkel perawatan pesawat memperluas pasar dan menambah keuntungan.

Bisnis bengkel pesawat sepertinya bakal seramai bengkel mobil. Dalam hitungan hari pesawat bisa silih berganti keluar masuk hanggar perawatan. Ada yang sekadar ngecek ini-itu, ada yang masuk langsung turun mesin. Kalau sudah begitu, uang pun bakal mengalir deras ke kantong pemilik bengkel.

Banyaknya pesawat keluar masuk jelas akan membuat bengkel perawatan pesawat meraih keuntungan berlipat. Hal serupa sempat terlihat di GMF Aero Asia, anak perusahaan Garuda Indonesia yang bergerak dalam bidang perawatan pesawat.
Setelah pisah dengan induknya tahun silam, sejumlah pesawat tampak silih berganti keluar masuk tiga hanggar GMF.

Beberapa waktu lalu terlihat sejumlah pesawat milik Air Sahara India, Boeing 737 Batavia dan Mandala, serta MD-82 Lion Air keluar dari hanggar. Air Sahara keluar setelah beres menjalani perawatan C-check. Begitu juga 737-300/400 Batavia dan Mandala. Agak berbeda dengan MD-82 Lion Air. Pesawat ini baru saja keluar setelah menjalani pemasangan sistem hiburan terbaru yang dipasarkan GMF AA.

Banyaknya pesawat yang keluar masuk tak ayal membuat GMF AA meraih keuntungan. Enam bulan pertama beroperasi GMF AA bisa meraup untung sekitar Rp15 miliar, setelah pajak. Angka tersebut juga sudah terlampaui pada enam bulan pertama 2003. Hadinoto Soedigdo, CEO GMF AA, berharap saat tutup buku tahun 2003 perusahaannya bisa mengantongi keuntungan bersih melebihi target Rp30 miliar.

Dibanding perusahaan jasa perawatan sejenis di luar negeri, target keuntungan yang dicita-citakan GMF AA masih jauh dari keuntungan sejawatnya. SIA Engineering Company misalnya, ketika tutup buku tahun 2002-2003 berhasil meraih keuntungan sampai 164 juta dollar Singapura (sekitar Rp800 miliar) untuk jasa perawatan kelas MRO (Maintenance Repair Overhaul), seperti halnya yang dimiliki GMF AA.

Hadinoto Soedigdo mengakui, perusahaannya belum full speed untuk meraih pasar dan keuntungan yang lebih besar. Alasannya terutama karena kinerja perusahaan belum berjalan sepenuhnya.
"Sejak beralih status kami masih terus membenahi beberapa bagian dan sistem," kata Hadinoto membela diri.

Hadinoto yang sudah malang melintang di GMF sejak puluhan tahun silam berharap tahun depan sudah bisa berjalan pada kecepatan penuh. Ini katanya demi meraih pasar yang cenderung semakin besar dan penuh persaingan. "Kue atau pasar masa depan akan lebih besar, kami harus bisa bersaing," tandasnya.

Menyangkut persaingan, GMF AA sempat ragu. Akan tetapi pengalaman dan penghargaan yang diterima dari sejumlah pelanggan, termasuk sejumlah sertifikat perawatan antara lain dari Badan Penerbangan AS FAA, Badan Penerbangan Eropa JAA, serta DSKU memperkuat keyakinan mereka.
"Selain memiliki kemampuan, kami bisa berkompetisi karena upah tenaga kerja yang 30 persen lebih murah daripada di negara-negara lain," ungkap Hadinoto.





Berebut pasar

Dengan menjadi badan hukum sendiri, 99 persen milik Garuda dan satu persen milik Aero Wisata, GMF AA bisa leluasa berekspresi dan berekspansi, termasuk kebebasan melakukan kerjasama dengan sejumlah bengkel perawatan pesawat di dalam dan luar negeri.

Menginjak usia kedua, GMF AA telah menjalin kerjasama dengan sejumlah pihak. Bulan Juni lalu, misalnya, GMF AA sudah menandatangani kerjasama perbaikan komponen, antara lain untuk airframe parts dan avionik, dengan KLM.

Sebelumnya, ada joint venture dengan Global Aviation untuk pemasangan inflight entertainment. Dalam hal ini GMF AA mengantongi hak memasarkan teknologi inflight entertainment di wilayah Asia. Lion Air jadi konsumen pertama. Selain itu, tujuh pesawat Air Sahara juga bakal masuk dan dipasangi perlengkapan serupa. Kerja sama lain dijalin dengan SMC AS, di mana GMF juga akan memasarkan dan memasang blitz air system yang dikembangkan pusat perawatan SMC.

Jalinan kerjasama dengan sejumlah pihak memang patut dijalin, mengingat persaingan yang semakin ketat. Di dalam negeri saja, selain GMF AA paling tidak ada sejumlah fasilitas serupa seperti Indo Pelita, Merpati Maintenance Facility, dan JAS yang baru saja menggandeng SIA Engineering Company (SIAEC).

Bersama SIAEC, JAS kabarnya sepakat membentuk JAS Aero-Engineering Services yang bertugas melakukan perawatan ringan di tingkat line maintenance, pasar yang juga dilirik GMF AA. Kerjasama keduanya telah ditandatangani 4 Agustus lalu di Jakarta.

"JAS Aero melayani jasa line maintenance atau perawatan sehari-hari pesawat di bandara," kata Diono. Pelayanan itu, lanjutnya, sudah dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta dan Ngurah Rai Denpasar. Selanjutnya, JAS Aero akan melebarkan jangkauan ke 10 bandara. Selain pesawat-pesawat Singapore Airlines (SIA), airline yang akan dirawat adalah SilkAir, Royal Brunei, dan EVA Air. Konsumen lain yang akan menyusul adalah Lufthansa, Thai International Airways, dan Emirates.

"Peluang untuk meraih pasar cukup besar, dan untuk jangka panjang kami juga akan mengembangkan ke heavy maintenance," ujar Diono, yang menyebut angka 50 persen pasar line maintenance di domestik dan airline asing sebagai targetnya.

Di bandara-bandara di Indonesia, untuk jasa line maintenance dilayani GMF, MMF, Indo Pelita, dan perusahaan-perusahaan kecil lainnya. Kecuali GMF Aero Asia yang melayani airline asing, bengkel lain umumnya melayani penerbangan domestik. JAS Aero sendiri sudah melayani line maintenance maskapai penerbangan asing, seperti halnya JAS yang bergerak di bidang ground handling.
Selama ini, SIAEC sudah memiliki orang-orang line maintenance di Jakarta dan Denpasar, yang frekuensi penerbangan SIA-nya banyak. Sekarang, menurut Wiliam, dengan joint venture ini akan mendapat peluang yang lebih besar untuk pasar domestik dan kegiatan di bandara-bandara lain. "Kami juga sudah melakukan kerja sama sejenis di negara-negara lain seperti Cina, Hong Kong, dan Taiwan," katanya.










PHK KARYAWAN MEMBANDEL

Setelah batas akhir program pengalihan karyawan ke GMF Aero-Asia (GMF-AA) berakhir, Garuda Indonesia akhirnya memutus hubungan kerja (PHK) 233 karyawan yang tidak bersedia bergabung ke GMF-AA. Keputusan ini diambil dengan alasan jenis pekerjaan perawatan pesawat sudah tidak ada lagi di tubuh Garuda Indonesia. Sebagaimana diketahui, program pengalihan karyawan dari PT Garuda Indonesia ke PT GMF Aero-Asia merupakan tindak lanjut pembentukan PT GMF Aero Asia, sesuai master plan BUMN tahun 2002¬2006. Master plan ini menuntut pengalihan 2.750 teknisi Garuda ke GMF-AA. Namun sampai batas akhir, Kamis 7 Agustus 2003, tercatat 233 orang (8,4 persen) tidak bersedia bergabung ke GMF-AA. Hanya 2.517 orang (91,6 persen) bersedia mengikuti program pengalihan. (

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com