Jumat, 26 September 2008

Kecelakaan Pesawat Terbang

Seiring dengan maraknya pemberitaan tentang kecelakaan pesawat terbang yang dialami oleh salah satu maskapai penerbangan swasta di Indonesia, maka gw berusaha mencari beberapa informasi tentang pemicu kecelakaan yang dapat terjadi pada pesawat terbang. Kecelakaan-kecelakaan tersebut dapat dilihat pada uraian dibawah ini.


Meledak di udara

Pesawat terbang meledak di udara tidak selalu karena ada bom. Yang terjadi dengan Boeing 747 Air India di atas Samudera Atlantik pada 1985 dan Boeing 747 PanAm di Lockerbie pada 1988 memang terbukti karena ledakan bom. Namun, yang terjadi pada Boeing 747-100 TWA flight 800, 17 Juli 1996, yang meledak di udara beberapa menit setelah take off dari JFK Airport, New York – Amerika Serikat, bukan karena bom. Penyebabnya adalah tangki bahan bakar meledak, diduga karena ada percikan api dari electrical wire.


Terbelah di udara

Beberapa kejadian pesawat terbang terbelah di udara sering kali karena terjadinya korosi dan kelelahan logam, yang disertai dengan perawatan dan perbaikan adanya retakan yang tidak tepat (improper). Pada 25 Mei 2002, Boeing 747-200 Chine Airlines jatuh dari ketinggian 35.000 kaki akibat bagian ekornya (tail section) terlebas. Penyebabnya diduga kelelahan logam karena adanya perbaikan retakan pada tail section – akibat pernah terjadi tail strike tahun 1980 di Hongkong – yang tidak sesuai dengan maintenance manual. Kejadian serupa terjadi pada Boeing 747 Japan Airlines pada 12 Agustus 1985 di dekat Gunung Fuji, Jepang.

Semua mesin mati

Pesawat terbang dengan dua mesin, dirancang untuk tetap mampu terbang meskipun salah satu mesinnya mati. Apabila kedua mesin mati, tergantung dari ketinggian dan jenis pesawatnya, pesawat masih akan mampu terbang melayang (gliding) dengan terkendali sampai jarak tertentu. Namun, ceritanya akan lain kalau sistem hidroliknya ikut terganggu, sehingga sistem kendali terbangnya terganggu.

Hal itulah yang kemungkinan terjadi pada MD-82 West Carribean Airways yang jatuh di Venezuela, 16 Agustus 2005 lalu karena kedua mesinnya mati yang diduga karena bahan bakarnya terkontaminasi. Kejadian terkontaminasinya bahan bakar mengingatkan kejadian avtur yang diduga tercampur air yang terjadi pada pesawat Boeing 737-200 milik Batavia Air pada 19 Oktober 2005 lalu.


Mesin jatuh di udara

Pada 25 Mei 1979, sesaat setelah take off dari Chicago O’Hare Airport, salah satu mesin DC-10 American Airlines yang terletak di sayap lepas, mengakibatkan kerusakan di sayap. Pesawat kehilangan kendali, berputar 90o dan pecah berantakan di udara. Badan Keselamatan Transportasi Nasional (National Tranportation Safety Board, NTSB) dalam laporannya menyalahkan rancangan engine pylon dan prosedur perawatan pesawat.


Malfungsi sistem pesawat

Pada 14 Agustus 2005, Boeing 737-300 Helios Airways jatuh setelah kehabisan bahan bakar di Yunani. Hal ini disebabkan terjadinya penurunan tekanan udara pada pesawat yang juga membuat kedua pilotnya pingsan. Sebelum jatuh, pesawat terbang dengan auto pilot sampai bahan bahan bakarnya habis. Hasil investigasi menunjukkan bahwa pilot tidak menyadari bahwa pressurization switch diset pada posisi manual sebelum take off bukannya automatic yang akan mengatur tekanan udara dalam kabin secara otomatis sesuai dengan ketinggian pesawat.

Pada 2 September 1998, MD-11 Swissair terbakar di udara dan jatuh di perairan Nova Scotia, Kanada. Penyebab awal api diduga dari Air Conditioning System. Api tersebut kemudian merambat dan membuat kegagalan (failure) pada beberapa sistem lainnya.

Pada 26 Mei 1991, Boeing 767-300 ER Lauda Air jatuh di atas Thailand. Penyebabnya terjadi malfungsi pada thrust reverser (pembalik tenaga mesin) yang bekerja di ketinggian (seharusnya hanya berfungsi pada waktu landing). Pesawat stall (kehilangan gaya angkat) dan disintegrate (pecah) pada ketinggian 4000 kaki (1200m).


Tabrakan di udara

Tabrakan di udara (mid air collision) antara dua pesawat terbang sudah beberapa kali terjadi. Penyebabnya antara lain karena pesawat yang tidak dilengkapi sistem peringatan pencegah tabrakan atau traffic alert and collision avoidance system (TCAS), tidak mematuhi perintah petugas pengendali lalu-lintas udara (ATC), atau bahkan kesalahan petugas ATC itu sendiri.

Boeing 737-700 Gol Transportes Aereos bertabrakan dengan Embraer Legacy 600 ExcelAire pada ketinggian 37000 kaki di atas Amazon, Brazil, 29 September 2006. Boeing 737-600 berhasil selamat dengan melakukan pendaratan darurat. Investigasi masih dilakukan, namun diduga, pilot Legacy 600 diduga inoperative. Namun, ada dugaan lain, justru ATC yang meminta Legacy 600 terbang pada ketinggian yang sama dengan Boeing 737.


Sengaja “dijatuhkan”

Setidaknya ada dua kecelakaan pesawat terbang dalam 10 tahun terakhir yang diduga disebabkan karena pilotnya bunuh diri, dengan sengaja menjatuhkan pesawatnya. Pada Desember 1997, Boeing 737 Silk Air jatuh di daerah Palembnang, Sumatera Selatan. Dalam suratnya kepada ketua KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang saat itu dijabat oleh Prof. Oetarjo Diran, ketua NTSB Jim Hall mengatakan bahwa temuan yang ada tidak mengindikasikan adanya kesalahan mekanis pada Boeing 737 tersebut dan kecelakaan tersebut nampaknya memang disengaja oleh (kapten) pilotnya. Namun, Diran menolak konklusi tersebut karena dari hasil investigasi KNKT tidak cukup bukti untuk mendukung konklusi tersebut.

Kecelakaan yang menimpa Boeing 767 EgyptAir pada 31 Oktober 1999 yang jatuh di Samudera Atlantik setelah take off dari JFK Airport juga diduga karena co-pilotnya melakukan bunuh diri oleh NTSB. Kesimpulan ini juga ditolah oleh pihak EgyptAir dan keluarga co-pilot tersebut yang mengatakan kecelakaan tersebut karena bom, peluru kendali, atau kegagalan mekanis.


Akibat “jetstream” atau turbulensi

Dalam sejarah penerbangan modern sejak dioperasikannya jet pada tahun 1950-an tidak pernah tercatat ada kecelakaan fatal (fatal-accident) pesawat terbang komersil akibat jetstream (tiupan angin kencang) atau turbulensi pada ketinggian jelajah di atas 30.000 kaki. Turbulensi, bagaimanapun ekstremnya tidak pernah “menjatuhkan” pesawat terbang. Sejak tahun 1981 sampai Desember 1997 tercatat 342 kejadian turbulensi yang dikategorikan sebagai non-fatal accident yang mengakibatkan tiga orang meninggal, 80 orang menderita luka serius, dan 769 orang menderita luka ringan.

Menurut laporan, Boeing 737-400 Adam Air terkena jetstream dari arah kiri (crosswind) dengan kecepatan sekitar 74 knots (setara 137 km/jam). Mungkinkah crosswind ini mampu mencelakakan pesawat terbang ? Jetstream sebesar 74 knots sebenarnya masih relatif kecil dibandingkan dengan kecepatan jelajah Boeing 737-400 yang sekira 439 knots (813 km/jam). Normalnya, untuk mempertahankan arah terbang (track heading), pilot akan sedikit memiringkan pesawat dan hidung pesata juga miring ke arah datangnya angin (steady heading sideslip technique).

0 komentar:

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com